Phnom Penh: Sara Ethiopian Restaurant
Phnom Penh bisa menyombongkan dirinya sebagai salah satu Ibukota di Asia Tenggara yang memiliki restoran Ethiopia. Tidak mudah untuk mencari restoran Ethiopia, setahu saya di Jakarta belum ada. Begitu juga di Singapura & Malaysia. Kesempatan pertama saya mencoba gastronomi Ethiopia dimulai di Phnom Penh.
Namanya Sara Ethiopian Restaurant, tempatnya tidak jauh dari Museum Nasional Kamboja. Bisa ditempuh berjalan kaki sekitar lima menit, jaraknya hanya sekitar 200-300 meter. Kebetulan pada waktu itu saya menyempatkan kesini sebelum pertunjukan sendratari di Museum Nasional Kamboja mulai. Tempatnya sederhana, tidak besar. Sepengamatan saya lebih banyak orderan makanan daring yang datang ke restoran daripada pengunjung yang makan di tempat.
mix wat
Menu yang saya coba malam itu adalah sepiring wat. Wat adalah daging kari khas Ethiopia, biasanya bisa sapi, kambing atau ayam. Versi vegetarian dari wat juga tersedia, biasanya dimakan oleh penganut agama Yahudi di Ethiopia. Pada foto diatas yang saya pesan adalah mix wat, dimana dalam satu piring terdapat campuran wat. Ada wat daging sapi, wat telur, wat misir yaitu kari lentil merah, kik alicha yaitu kari lentil kuning dan abisha gomen (sayur-sayuran).
Wat bisa dimakan dengan nasi atau injera. Tentu saja saya memilih injera! Untuk apa makan nasi? di Indonesia sudah sering! hahaha. Injera adalah sejenis roti sourdough yang dibuat dengan tepung teff khas Ethiopia. Dari jauh injera terlihat seperti handuk kecil. Penampakannya yang seperti handuk mungkin dikarenakan teksturnya yang sangat spongy dan penyajiannya digulung.
Lalu bagaimana cara memakan wat dan injera? caranya mudah, pertama anda harus melupakan sendok dan garpu agar tidak terlihat pretentious. Gunakan tangan anda, buka injera, sobek sesuai yang anda butuhkan, jepit lauk menggunakan injera, kemudian hap. Bisa juga dengan cara membuka injera dan memasukkan lauk menggunakan sendok kemudian injera digulung kembali, dengan cara seperti itu anda jadi memakan makanan Ethiopia yang bernama firfir. Namun biasanya firfir menggunakan lauk sisa, bukan lauk baru dimasak. Oh ya, jika ingin menunjukkan rasa sayang atau menghargai orang yang makan bersama anda, maka menyuapi wat dan injera merupakan cara yang tepat untuk mengekspresikan perasaan tersebut.
Rasa yang dikeluarkan oleh injera adalah asam. Jika dimakan sendiri saya tidak cocok dengan rasanya, namun jika digabungkan dengan wat maka terciptalah kombinasi rasa dan tekstur yang menarik. Wat memiliki rasa gurih, agak sedikit manis seperti semur. Saya belum pernah makan wat yang lain sehingga saya kurang tahu apakah rasa semur adalah tepat sebagai penggambaran rasa yang original. Sementara kik alicha lebih mengeluarkan rasa kari dan wat misir hampir mirip kik alicha untuk tekstur tapi dengan rasa lebih pedas.
Tentunya kurang lengkap membicarakan kuliner Ethiopia tanpa mencoba ritual kopi mereka. Ethiopia dipercaya merupakan tempat lahir dari minuman kopi. Saya pun memesan satu paket seremoni kopi mereka. Lalu datanglah sepiring popcorn dengan kopi dalam jebena (nama wadah penyimpan kopi) lengkap dengan dupa yang wangi.
Kopi biasanya disajikan untuk menjamu tamu. Diharapkan ketika kopi sudah disajikan setiap orang bisa berkumpul dan menikmati waktunya. Biasanya kopi disajikan oleh perempuan dan gelas pertama diberikan untuk orang yang paling tua. Rasa kopi Ethiopia menurut saya teksturnya ringan seperti kopi Gayo, namun tidak fruity melainkan lebih bitter dan acid. Seremoni kopi tidak lengkap tanpa camilan, popcorn merupakan salah satu camilan yang populer karena banyaknya tumbuhan jagung di Ethiopia.
Tidak terasa waktu satu jam saya habiskan disini. Sangat menyenangkan sekali bisa mencoba kuliner Ethiopia. Pengalaman baru yang mengisi hati sekaligus rasa baru yang memenuhi mulut. Semoga saja suatu hari nanti saya bisa mengunjungi Ethiopia atau mungkin ada kuliner Ethiopia di Indonesia agar tidak terlalu jauh mencarinya.
-----
tidak untuk direproduksi tanpa izin
instagram & twitter: @hungerranger
Komentar
Posting Komentar